06 June 2006

Maengketnya Laikit Dimembe Jakarta

group maengket LAIDI TAMPOROK Patuarian ne LAIKIT DIMEMBE

Waruga

Waruga, Rumah bagi Badan yang Akan Hancur

JIKA Anda pencinta komik Asterix, Anda pasti mengenal si gendut Obelix yang mampu mengangkut sebongkah besar batu megalitik di balik punggungnya. Anda boleh terkikik melihat ulah konyol Obelix yang doyan makan itu.Tawa terkikik Anda akan berganti decak kagum nyaris tidak percaya, saat Anda mendengar kisah betapa sakti dan perkasanya orang-orang kuno Minahasa yang hidup pada zaman megalitik hingga 150-an tahun lalu di jazirah utara Pulau Sulawesi. Mereka dipercaya dapat mengetahui kapan hidup mereka akan berakhir, dan sehubungan dengan itu mereka mengangkat sendiri bongkah batu besar untuk kuburan mereka. Dengan tangan kanan memegang batu yang disunggi di atas kepala, sambil berjalan kaki menuju ke tempat yang mereka tentukan sendiri sebagai lokasi kubur, tangan kiri mereka menangkap ikan di sungai-dengan tangan kosong. Setelah sampai di tempat yang mereka pilih, batu itu akan menjadi kuburan si pembawanya. Kuburan batu berukuran lebar 50 cm hingga satu meter, panjang 50 cm hingga satu meter, dan tinggi sekitar satu meter itu disebut waruga. Balok batu tersebut berongga, dan di dalam rongga itulah orang-orang kuno Minahasa dikubur dalam posisi jongkok. Sebagai penutup bagian atas, digunakan cungkup yang berukir atau berpahat keterangan atau profesi si mayat sebelum meninggal. Cungkup berpahat atau berukir binatang menandakan mayat yang dikubur di dalam waruga itu semasa hidupnya adalah seorang pemburu. Cungkup bermotif perempuan yang sedang melahirkan menandakan mayat yang dikubur di dalam waruga tersebut semasa hidupnya adalah seorang dukun beranak. Sementara, cungkup yang bermotif beberapa orang sekaligus menandakan yang dikubur di dalam waruga itu adalah satu keluarga utuh, yang meninggal dan dikubur satu persatu. pula cungkup yang polos, tanpa ukiran dan pahatan apa pun. Cungkup polos itu menandakan waruga berusia jauh lebih tua dibandingkan waruga lainnya, berusia lebih dari 1.200 tahun. Pada zaman itu, budaya mengukir dan memahat cungkup dengan keterangan atau profesi belumlah "ngetrend". Di dalam setiap waruga, si jenazah dikubur dalam posisi jongkok di atas benda-benda bekal kuburan, yang dapat berupa parang, gelang, manik-manik, piring, padi, uang benggol, mangkuk, sendok, kolintang, dan beberapa benda lain. Namun, kini tidak ada lagi benda-benda bekal kuburan yang dapat dijumpai di dalam waruga, karena benda-benda itu sudah diamankan di museum. Dalam bahasa kuno Minahasa, kata waruga merupakan gabungan dari dua kata, yakni wale dan maruga. Wale berati rumah, dan maruga berarti badan yang akan menjadi hancur. Sementara, posisi jongkok mayat yang dikubur di dalam waruga erat kaitannya dengan posisi bayi yang jongkok di dalam rahim ibu. Filosofinya, manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok, dan semestinya mengakhiri hidup dengan jongkok pula. Dalam bahasa setempat, filosofi ini disebut whom. Di seluruh Minahasa tersebar sekitar 1.700 waruga di beberapa kompleks waruga, yang terkonsentrasi di bagian utara Minahasa. Sebagian besar waruga merupakan kuburan prajurit perang (waraney) dan tokoh masyarakat (walian). Dua kompleks waruga terbesar adalah kompleks waruga Airmadidi Bawah dan kompleks waruga Sawangan. Keduanya berada di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Di kompleks Airmadidi Bawah terdapat 153 waruga, dengan waruga termuda bertanggal wafat 26 Juli 1947. Sebanyak 152 waruga berjejer dalam 10 baris dengan jarak antar-waruga sekitar 2-3 meter. Sebuah waruga terbesar berdiri menyendiri di bagian depan, di sebuah pendopo permanen. Waruga tersebut adalah kuburan Opo Wagiu bergelar Timani Oeng Koemelemboeai, yang dalam bahasa Tonsea berarti penemu kampung yang memancarkan air dari dalam tanah-yang kemudian disebut airmadidi. Warga setempat percaya, Opo Wagiu adalah salah seorang dari sembilan dotu (utusan Toar Lumimuut, nenek moyang orang Minahasa). Di Watu Pinawetengan, Toar Lumimuut memerintahkan kesembilan dotu itu untuk menyebar ke sembilan daerah untuk masing-masing memimpin satu suku. Namun, hingga saat ini tidak ada satu pun catatan resmi siapa saja kesembilan dotu itu. Menurut Johan Mandagi, juru kunci kompleks waruga Airmadidi Bawah yang dijumpai akhir April lalu, ke-153 waruga itu masih berada pada posisi awal saat waruga-waruga itu ditemukan, tanpa perubahan letak dan pemindahan. Pemugaran tahun 1998 hanya dilakukan untuk mengangkat benda-benda bekal kubur, yang selanjutnya disimpan di museum yang berada di sebelah kompleks waruga. Kini, hanya waruga Opo Wagiu saja yang masih memiliki bekal kubur. Di museum yang dibuat seadanya itu (berupa sebuah rumah panggung kayu), benda-benda bersejarah tersebut hanya dibungkus plastik kresek warna hitam dan digeletakkan di lantai. Di antara benda-benda bekal kubur yang diangkat dari waruga itu, Johan menunjukkan uang benggol menunjukkan angka tahun 1650.Tidak ada pagar yang mengelilingi museum, tidak ada rak kaca untuk memajang benda-benda bersejarah itu, dan tidak ada sambungan listrik untuk menerangi museum. "Saya percaya ada KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dalam pemugaran yang dilakukan tahun 1998. Coba ngana lihat sendiri, barang-barang ini tidak terurus. Kalau malam gelap gulita. Biar saja, kalau hilang dicuri orang, torang punya alasan... habis gelap, bagaimana lagi?" kata Johan, yang sudah 23 tahun menjadi juru kunci di Di samping itu, tambah Johan, kompleks waruga tersebut tidak mempunyai WC umum sebagaimana yang dijanjikan pada awal proyek pemugaran. "Turis-turis yang datang harus numpang buang air di rumah seorang penduduk, pinjam de pe WC. Kalau terus-terusan begitu, itu merepotkan orang toh?" sambungnya. SEKITAR empat kilometer dari kompleks waruga Airmadidi Bawah, terdapat kompleks waruga tidak terurus di Kelurahan Raprap. Di sana berdiri 33 waruga, yang sebagian besar sudah tertutup ilalang dan tanaman merambat. Tahi sapi dari yang masih basah hingga yang sudah kering berserak di sana-sini. Kawat berduri yang memagari kompleks waruga itu pun sudah doyong dan berantakan. Di antara waruga-waruga itu, terdapat waruga berukirkan nama Opo Mingki Koemekoko. Itulah satu-satunya waruga yang memiliki nama. Menurut pemuda setempat bernama Kris Karamoy, pemerintah daerah dan warga Raprap memang tidak mengurusi waruga tersebut. "Dulu, ada Opa Maxi Wenas yang mengurus waruga-waruga ini. Sepeninggal Opa Maxi tahun 2001, tidak ada yang menggantikannya. Warga di sini taat beribadah, sehingga tidak mengurusi waruga-waruga ini. Waruga dianggap berhubungan dengan hal-hal mistis," paparnya. Menurut Kris, waruga-waruga di Kelurahan Raprap itu adalah waruga-waruga tertua di Minahasa. Awalnya, waruga-waruga tersebut tersebar di Kecamatan Airmadidi. Baru pada sekitar tahun 1970 waruga-waruga itu dikumpulkan di Keluarahan Raprap. "Itu atas prakarsa Gubernur HV Worang, yang memang punya kepedulian besar terhadap adat-istiadat kuno Minahasa," kata Kris. Meskipun sudah taat beribadah dan hal itu menjadi alasan warga setempat membengkalaikan kompleks waruga itu, hingga saat ini warga Kelurahan Raprap masih percaya akan khasiat benalu yang tumbuh di pohon dudi. Benalu tersebut hanya tumbuh di pohon dudi, yang ada persis di sebelah waruga Opo Mingki. Benalu itu sama sekali tidak dijumpai pada pohon-pohon lain di sekitar kompleks kuburan batu tersebut, yang didominasi oleh pohon duku dan langsat. BERBEDA dengan kompleks Airmadidi Bawah, kompleks waruga Sawangan berikut museumnya telah tertata dengan baik. Jika Anda mengira nama Sawangan tersebut ada kaitannya dengan sebuah daerah yang juga bernama Sawangan di (Jawa Barat), Anda benar. Nama Sawangan yang ada di memang berasal dari nama Sawangan di Minahasa, yang artinya hidup gotong royong. Tokoh setempat yang bernama Jusuf Mantiri-lah yang membawa nama Sawangan ke Bogor dan menjadikannya sebagai nama sebuah daerah di kota hujan itu. Di kompleks waruga Sawangan terdapat 144 waruga, termasuk waruga Jusuf Mantiri yang berdinding kaca. Juru kunci kompleks waruga Sawangan, seorang wanita bertubuh besar bernama Olce Kambong menjelaskan, ke-144 waruga itu berasal dari tempat-tempat yang berbeda. Waruga-waruga itu dikumpulkan pemerintah dan disatukan di kompleks tersebut pada tahun 1817. Dengan fasih Olce menerangkan, mulai tahun 1800 penguburan mayat di dalam waruga dilarang pemerintah, karena waktu itu mulai berjangkit penyakit tipus dan kolera. "Dikhawatirkan, si meninggal menularkan bibit penyakit tipus dan kolera, melalui celah yang terdapat di antara badan waruga dan cungkup waruga. Bersamaan dengan itu pula, agama Kristen yang mengharuskan mayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di Minahasa," jelasnya. Di Sawangan, masih terdapat waruga bercungkup polos (tanpa ukiran dan pahatan), yang sudah berusia sekitar 1.200 tahun. Sementara, waruga yang cungkupnya bermotif berusia 400-500 tahun. Salah satu waruga di sana memiliki motif cungkup perempuan sedang melahirkan. "Itu bukan berarti si mayat meninggal di saat melahirkan, melainkan sepanjang hidupnya dia adalah bidan (dukun beranak). Sampai sekarang, ibu-ibu yang susah mendapatkan keturunan sering berziarah di waruga bidan tersebut, dan memohon diberi kemudahan mendapatkan anak. Banyak permohonan terkabul," kata Olce. Bisa Anda bayangkan, betapa perkasanya seorang perempuan dukun beranak berjalan kaki mengangkat sebongkah batu besar untuk kuburnya sendiri?

03 June 2006

Sejarah Desa Laikit dan Desa Dimembe

Sejarah Laikit Dimembe

Pertengahan tahun 1770-an, OPO NGANGI berasal dari KULEMBUAI(AIRMADIDI), bersama dengan OPO WAGIU berangkat menuju utara menyusuri kaki gunung Klabat untuk mencari tempat tinggal/ lahan baru. Perjalanan dengan menempuh  10 km sudah menemukan sungai kecil, yang merupakan syarat untuk dijadikan tempat tinggal/ lahan bercocoktanam.
Diseberang sungai (lalana) mereka menderikan dena’u
(pondok) tempat tinggal sementara, dan diam disana untuk beberapa waktu sebelum kembali keKumelembuai.
Beberapa hari kemudiaan, di saat sore hari, mereka tiba kembali di pondok tersebut membawa beberapa jenis tanaman dan merekapun mengajak OPO SANDING, salah satu rekan mereka di Kumelembuai yang memiliki kemampuan mendengar tanda-tanda berkaitan dengan kebiasaan disana seperti mendengar suara burung manguni (doyot) dan mengartikannya. Tentang suara burung manguni tersebut diperoleh tanda yang baik untuk membuka lahan baru ditempat itu.
Setelah memperoleh tanda yang baik mereka kembali ke Kumelembuai dan mengajak keluarga, kerabat untuk pindah menetap di tempat yang baru itu. Saat itu mereka berjumlah 9 keluarga..
Saat mereka membuka lahan baru disekitar sungai kecil dan bila menemukan mata air maka mata air tersebut selalu dikelilingi oleh POHON DEIKIT (daun pohon menyerupai daun pisang) dan mereka tidak menjumpai di tempat tinggal sebelumnya.
Sehingga bila mereka pergi ke Kumelembuai, selalu mengatakan bahwa mereka dari Wanua Deikit (Desa Laikit)
Sembilan keluarga itu adalah :

1. OPO NGANGI, Kepala (Teterusan)
2. OPO WAGIU, Penasihat (Tonaas)
3. OPO SANDING, Penasihat (berhubungan dengan pendengaran)
4. OPO TUEGEH, Bidan
5. OPO MARENTEK, Pandai besi
6. OPO WULLUR, Peramal
7. OPO MATINDAS, Pembagi tugas kerja
8. OPO KALESARAN, Penasihat (berhubungan dengan penglihatan)
9. OPO WETIK, Penjaga keamanan

Hingga saat ini masih terlihat di desa Laikit Dimembe peninggalan dari 9 opo tersebut seperti membersihkan kampung diawal tahun, melihat tanda hati babi sebelum pesta- pesta, melihat / mendengar tanda- tanda yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat didesda Laikit Dimembe, dan sebagainya.
TAHUN 1981 DESA LAIKIT DIMEKARKAN MENJADI 2 DESA, dengan nama Laikit I dan Laikit II . Beberapa tahun kemudian desa Laikit II diubah menjadi desa Dimembe karena didesa tersebut terdapat kantor- kantor tingkat Kecamatan Dimembe.


DATA KEPALA DESA LAIKIT
No Nama Tahun Lama Tahun keterangan
1 Opo Ngangi 1775-1785 10
2 Opo Wagiu 1785-1795 10
3 Opo Tuegeh 1795-1805 10
4 Opo Tuwaidan 1805-1825 20
5 Opo Tuwaidan 1825-1845 20
6 Opo Wagiu 1845-1871 26
7 Opo Wantania 1871-1877 16
8 Opo Manua 1887-1890 3
9 Opo Ngangi 1890-1903 13
10 Sem Wagiu 1903-1904 1 definitif
11 Simon Sundalangi 1904-1906 2 definitif
12 Koloay 1906-1918 12 definitif
13 Sigarlaki 1918-1922 4
14 JJ Rotty 1922-1941 19 definitif
15 M Sundalangi 1941-1943 2
16 JJ Rotty 1943-1944 1
17 M Sundalangi 1944-1944 0
18 H manua 1944-1950 6 definitif
19 P Wagiu 1950-1950
20 William Wantania 1950-1952 2 definitif
21 M Sundalangi 1952-1953 1
22 G Kaurow 1953-1959 6 definitif
23 J Tintingon 1959-1962 3
24 J Sundalangi 1962-1965 3 definitif
25 A Damopoli 1965-1969 4 definitif
26 Hendrik Wantania 1969-1976 7 definitif
27 Elfianus Wantania 1976-1976 definitif
28 I Karundeng 1976-1978 2
29 Joppie J Damopoli 1978-1983 5 definitif
30 Hermanus Tuegeh 1983-1983
31 Onesimus Rarun 1983-1992 8 definitif
32 Simon Doodoh 1992-2001 9 definitif
33 Jantje Manua 2001-2006 6 definitif
34 PAULUS SUNDALANGI 2007-2012 DEFINITIF


DATA KEPALA DESA DIMEMBE

1 Gustaf Kaurow 1981-1982 1
2 Karel Ngangi 1982-1990 8 definitif
3 Wim Wagiu 1990-1992 2
4 Wim Wagiu 1992-2001 9 definitif
5 Johanis Tuwaidan 2002-2007 definitif

Patuarian ne Laikit Dimembe


Riwayat Patuarian ne Laikit Dimembe

Patuarian ini berdiri berawal dari pertemuan beberapa orang yang berasal dari Desa Laikit dan sekitarnya, 26 Mei 1968, di rumah Kel.Simon Luntungan, yaitu Yan Wullur, Kandouw Tintingon, Koyong Matindas, Karry Umboh, Tjujung Luntungan, Emma Tuwaidan Adam. Inti pembicaraan dari pertemuan ini adalah dibentuknya suatu perkumpulan yang bertujuan untuk membantu saudara sekawanua yang tinggal di Jakarta.
Pertemuan selanjutnya diadakan 30 Mei 1968, di rumah kel.John Piet Tuegeh, yang dihadiri oleh Frans Leo Wantania,Johan Ngangi, Alfons Doodoh, Simon Luntungan, yaitu Yan Wullur, Kandouw Tintingon, Koyong Matindas, Karry Umboh, Tjujung Luntungan, Emma Tuwaidan Adam.Dari pertemuan ini diperoleh kesepakatan pembentukkan perkumpulan dan di tandai dengan penunjukkan kepengurusan sementara yaitu:
Ketua : Letkol (purn) John Piet Tuegeh
Wakil : Frans Leo Wantania
Sekretaris : Alfons F Doodoh
Bendahara : Emma Rumagit Tuwaidan
Umum : Simon F Luntungan
dan mulainya pertemuan bulanan patuarian.8 Juni 1968,di tempat tersebut. Oleh karena kesepakatan bersama maka nama perkumpulan diresmikan menjadi Patuarian ne Laikit Matungkas wia Jakarta.dan sekaligus menetapkan pengurus yang telah ada dengan penasehat :
• Wellem Doodoh
o I Karundeng
o B Wullur
o Jan Wullur
Sejak saat itu perkumpulan ini berjalan dengan baik dengan pertemuan rutin bulanan dan berbagai kegiatan khusus seperti Natal dan Paskah serta ulang tahun perkumpulan.
Susunan Pengurus setiap periode :
Periode 1968-1973
Ketua John P Tuegeh
Wakil Frans Leo Wantania
Sekretaris Alfons F Doodoh
Bendahara Emma Rumagit Tuwaidan
Sek II, BendII, Umum Simon F.Luntungan


Periode 1973-1978
Ketua Alfons F Doodoh
Wakil Dan Wullur
Sekretaris Jan Wullur
Bendahara Frans Leo Wantania
Sek II, BendII, Umum Simon F.Luntungan


Periode 1978-1979
Ketua Djolo Wullur
Wakil Kandouw Tintingon
Sekretaris Johansyah
Bendahara Non Johansyah Wullur
Bendahara Fitje Datumbanua Kolulun
Sek II, Umum Simon F.Luntungan


Periode 1979-1982
Ketua Nangoy
Wakil Simon Luntungan
Sekretaris Nelly Babay Rarun
Sekretaris Yantje Luntungan
Bendahara Esther Doodoh Ontoh
Bendahara Non Syamsudin Jassin
Umum Johanis Wagiu


Periode 1982-1984
Ketua Ibu Jassin Doodoh
Wakil Ibu Wullur Kahu
Sekretaris Yantje Luntungan
Sekretaris Noldy Damopoli
Bendahara Esther Doodoh Ontoh
Bendahara Youke Rarun Mokalu
Umum Simon F Luntungan


Periode 1984-1986
Ketua Nangoi
Wakil Nico Jassin
Sekretaris Gerardus Rarun
Sekretaris Wangko Keagow
Bendahara Esther Doodoh Ontoh
Bendahara Non Syamsudin Jassin
Umum Simon F Luntungan


Periode 1986-1988
Ketua O Babay
Wakil Ferry Doodoh
Sekretaris Moses J Pinontoan
Sekretaris Yohanis Wagiu
Bendahara Esther Doodoh Ontoh
Bendahara Jenny Wullur
Umum Simon F Luntungan


Periode 1988-1990
Perkumpulan dimekarkan menjadi 2 yaitu Patuarian ne Matungkas dan Patuarian ne Laikit Dimembe. Pada tanggal 13 Januari 1991 kepengurusan dan nama perkumpulan ditetapkan sebagai berikut :


Periode 1991-1993
Ketua Raymond Wullur
Wakil Ferry Doodoh
Sekretaris Moses J Pinontoan
Sekretaris Johanis Luntungan
Bendahara Day Syamsiah
Bendahara Evie Kamil Wullur
Umum Simon F Luntungan


Periode 1993-1995
Ketua Evie Kamil Wullur
Wakil Gerardus Rarun
Sekretaris Berty Doodoh
Sekretaris Johanis Luntungan
Bendahara Day Syamsiah
Bendahara Vonny Pontoh Wullur
Umum Simon F Luntungan


Periode 1995-1997
Ketua Evie Kamil Wullur
Wakil Herman Ngangi
Sekretaris Moses Pinontoan
Sekretaris Felix J Luntungan
Bendahara Day Syamsiah
Bendahara Fitje Doodoh Wagiu
Umum Berty Doodoh


Periode 1998-1999
Ketua Herman Ngangi
Sekretaris Felix J Luntungan
Bendahara Day Syamsiah
Umum Berty Doodoh


Periode 1999-2001
Ketua Simon F Luntungan
Sekretaris Rahsid
Bendahara
Umum Julian Namangge



Periode 2001-2005
Ketua Gerardus Rarun
Wakil Ricky Pontoh
Sekretaris Felix J Luntungan
Bendahara Ruben Tombokan


Periode 2005-2006
Ketua Simon F Luntungan
Wakil Johanis Wagiu
Sekretaris Felix J Luntungan
Bendahara Betsy Konradus Wantania
Bendahara II Diana Hadjoh

Periode 2006-2007
Ketua Johanis Wagiu
Wakil
Sekretaris Felix J Luntungan
Bendahara Diana Hadjoh

02 June 2006

Asal usul suku Minahasa

Asal Usul SUKU MINAHASA
(anak suku TONSEA)
Menurut fakta- fakta penyelidikan kebudayaan dunia dan benda- benda purbakala yang terdapat di Eropa, Afrika, Asia, Amerika, maka manusia diperkirakan mulai menyebar hingga ke pelosok di muka bumi sejak 35 ribu tahun lalu.
Di tanah Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti
Kaum Kuritis yang berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung pesek)
Kaum Malesung/ Minahasa yang menurunkan suku-suku :Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan (Pasan,Ratahan),Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590 .
Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dll. Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua- tetua Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun (biasanya dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru
Dan dari hal kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua orang tersebut.Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan (dekat Tompaso Baru sekarang dan dengan kehidupan pertanian yang sarat dengan usaha bersama dengan saudara sekeluarga/ taranak tampak dari berbagai versi tarian Maengket) Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan Minahasa. Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa atas manusia sudah dijalankan diMinahasa sejak awal
Tingkatan atau status sosial diatur sbb
Golongan Makasiow (pengatur ibadah yang disebut Walian/ Tonaas) hingga saat ini istilah yang dipakai adalah 2 X 9 ( 9 orang tonaas yang menempati posisi antara Sang penguasa dengan Surga dan Bumi, Baik tidak Baik, dan semua hal tentang keseimbangan Golongan Makatelu pitu (pengatur/ pemerintah dengan gelar Patu’an atau 3 X 7 Teterusan/ kepala desa dan pengawal desa disebut Waranei ( 7 orang pengatur/ pemerintah)
Golongan Makasiow Telu 9 x 9
Seiring waktu, jumlah penduduk bertambah, tempat tinggal mulai padat dan lahan terbatas, maka keturunan Toarlumimuut berpencar tumani (membuka lahan baru)untuk kelangsungan taranak mereka serta Golongan Pasiyowan Telu (rakyat)
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan
Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua.yang berarti Orang tua yang melindungi.Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan terjamin
Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng
Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di daerah lain pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagai raja. seperti raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan rumah tangga. Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat /Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang
Akibat pemberontakkan itu, Tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu, peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar keluarga Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan
Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke 14
Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilihTonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb. Hasil-hasil musyawarah tsb, pada sebagian orang dikaitkan dengan nama tempat berlangsung musyawarah yang dikenal saat sekarang dengan Watu Pinawetengan ( batu tempat dimana mereka bersatu untuk kemudian membagi) bertujuan untuk mengembalikan adat yang diwariskan Toar Lumimuut. 9 pokok hasil musyawarah yaitu:
Kepala pemerintahan dipilih dari yang tua, jujur, berani, wibawa, kuat dan berani maju dalam segala hal
Segala usaha harus dimusyawarahkan
Dewan tua-tua (Patuosan) yang mengawasi jalannya pemerintahan oleh Hukum Tua
Mempertahankan kebiasaan yang sudah baik.( Kenaramen
Memperketat wibawa orang tua kepada anak-anak
Perempuan dan laki-laki sama kedudukannya
Pesan tua-tua jangan diremehkan. (Taar
Sejak saat itu pemerintahan di Minahasa dipegang oleh Rakyat (Pasiowan Telu) karena demokrasi mulai diterapkan
Keputusan penting yang lain adalah membagai wilayah Minahasa menjadi 4 wilayah Tontewoh, Tombulu, Tompakewa, Tolour
Istilah Tontewoh diganti Tonsea pada tahun 1679 sedangkan istilah Tompakewa diganti Tontemboan pada tahun 1875
Setelah selesai musyawarah di Watu Pinabetengan, setiap anak suku Tanah Malesung/ Minahasa yaitu 4 anak suku yang merdeka dan dipimpin tonaas masing masing kembali dengan para walak( pemerintahan otonom) kumpulan beberapa desa/ wanua. Suku Tonsea dipimpin Tonaas Walalangi dan Tonaas Rogi berangkat menuju ke arah Timur Laut disebelah Timur Tenggari.
Suku Tombulu ke Utara dipimpin Tonaas Walian Mapumpun, Tonaas Belung dan Tonaas Kekeman ke Majesu.
Suku Tolour berangkat ke Timur ke Atep dipimpin Tonaas Singal.
Suku Tontemboan berangkat ke Barat Laut menempati Kaiwasian sekitar Tombasian.
Anak suku Tonsea
Dari Niaranan, suku Tonsea pindah ke Kembuan. Di daerah tersebut banyak tumbuh kayu sea yang digunakan sebagai obat. Itulah sebabnya mereka menyebut suku mereka Tou un sea atau Tonsea. Keluarga dari Kembuan sebagai berikut:
Keluarga Tonaas Rurugala menempati daerah Walantakan
Keluarga Tonaas Wenas menempati daerah Sinalahan.
Keluarga Tonaas Roringtudus menempati daerah Tiwoho.
Keluarga Tonaas Maramis menempati daerah Kinarepuan
Keluarga Tonaas Roringwailan menempati daerah Kuhun.
Keluarga Tonaas Sigarlaki dan Tonaas Maidangkai menempati daerah Maandon.
Keluarga Tonaas Runtukahu, menempati daerah Kumelembuai.
Keluarga Tonaas Kapongoan dan Tonaas Dotulung menempati daerah Kema.
Abad ke-15 Tonaas Dotulung, Tonaas Tidajoh, Tonaas Koagou menguasai daerah Dimembe. Salah satu hal yang menonjol di Tonsea adalah tetap adanya satu walak/ anak suku Tonsea. Tonsea tetap utuh satu dibawah Tonaas Dotulung yang kemudian namanya dirubah menjadi Dotulong.
Sumber: dari berbagai sumber

DAFTAR PERKUMPULAN KAMPUNG / KELUARGA TONSEA di JABODETABEK

Danowudu
Jl.Pacuan Kuda no.1-5 Pulomas JAKTIM
Kaasar Karegesan
Jl.Kaisar Gg H Muala no.65 Jakarta 11480
Kadoodan ne Dembean
Jl.Percetakan negara VB no.8
Jakarta Pusat
Keluarga Rotinsulu
Jl.Raden Patah III no.7 Jakarta Selatan
Kerukunan Warga Tendeki
Perumahan Taman Galaxi Blok CA/51 Bekasi Selatan telp.82411254,8475503
Kumelembuai
Jl.Ternate A no.19C Jatibening Bekasi
Kuwil Kaleosan
Jl.Candi Brahma 407 Duren Jaya
Bekasi Timur
Manembo-nembo
Jl.Cempaka Putih Barat XVII/5 JKT 10520
Mangaley
Kolongan Mapanget
Jl.Kalideres Permai Blok B4/4 Jakarta Barat
Mapalus ne Tonsea
Asrama BS RT002/010 no.1 Cililitan
Jakarta 13540 telp.80888179,916238,9204982
Maumbi Watutumou
Perum Griya Timur Indah Blok C6 no.19 Jatimulya Bekasi Timur 17510 telp.82604176, 9191899
Nematuari Sagerat
Watudambo
Jl.Joget KH 06 Klp.Gading telp.4535202, 0811859934
Paslaten
Komplek Pelni Blok J-4 / 16 Depok 16418
Pasungkudan ne
Margo Dembean
Jl.Gorontalo V no.15A Tanjung Priok
Jakarta Utara 4700153,4207281
Pasungkulan ne
Kolongan Kawangkoan
Jl.Mawar I no.2 Cengkareng Timur
Jakarta 11480
Patuarian ne Kaima
Jl.Sunter Indah X Blok HG2/6 Sunter
Jakarta 14350 telp.6500771
Patuarian ne Kauditan
Komplek Jati Makmur II Blok C no.17
Pondok Gede Jakarta Timur
Patuarian ne Kawiley
Jl.Janur Kuning XII Blok WR2/11
Kelapa Gading Jakarta 14350

Patuarian ne Laikit Dimembe
Jl.Gading Mas Timur Blok BIV/33
Jakarta 14250 telp.fax 4505738 / 08159105372
Patuarian ne Matungkas
Jl.Musi IV no.79, Perumnas Depok II Timur Depok 16417
Patuarian ne Runtunuwu
Jl.Pamulang Permai I blok B-VI no.1
Pamulang Tangerang telp.7419231
Patuarian ne Treman
Jl.Danau Tondano no.14 Jakarta 10210
Perkumpulan Bitung
Jl.Lembang Aren XII blok 14/11 Kav.DKI Pondok Kelapa Jakarta Timur
Perkumpulan Kema
Jl.Raya Meruya Ilir E-8 no.23 Taman
Meruya Ilir Jakarta 11620
Perkumpulan Tontalete
Jatiwaringin Indah Pondok Gede
Jakarta telp.8475416
Perwagis Girian
Jl.Enim 39A Jakarta Utara telp.4505361,fax 45845334
Pinaesaan ne Kembuan
Tonsea Lama
Jl.Tebet Timur IIID no.6 Jakarta 12820
Sukur Tonsea
Jl.Pembangunan 16, Jatibening Pondok Gede
Suwaan Tonsea
Jl.Ampera 76 Tg Priok Jakarta Utara telp. 4700153,4207281
Talawaan Tonsea
Jl.Jend.A Yani 40B Rawasari By Pass
Jakarta 10510 telp.4227375
Tenggari Pengharapan
Jl.Kayu Manis X/43 Jakarta Timur telp.9193163,8580454,5401518
Tumaluntung
Jl.Cempaka Putih Tengah 26 no.2A
Jakarta Pusat
Tumetenden
Jl.Hadiah DL8 Jelambar Jakarta 11460
Tumpas
Jl.Swasembada Barat IX/ 38 Jakarta Utara


“KARIA WO KATUARI”
Cipt.ibu Betji Agusta Wullur Sundalangi

Karia wo katuari, Yo maleo leosan
Kita mangeleik u lalan, mange wia si Empung
Kumura kita wo toro, kumelang wo tu merus
Malenggang kita maeman, wo malele- lele
Wia si Empung, wo si rinteNa, Isa AlmasihReff: ‘Toyo u rendem Na ni kita,
Yo si rinte Na Isa Almasih,
Nai mo iwaer, un sala'ta tou

Lagu meketana


“WISA TOROANTA”
Cipt.ibu Betji Agusta Wullur Sundalangi

Wisa `nangean'ta, pepatoroan'ta
Sa wo un nate `ta, masusah merawoy
Uremo wo ure, `ngkakelang kelang'ta
Dai mekeeilek kaleosan
Reff :`ko tuduan, tuduan'ku (lalan kendis)
mai wia si Empung, sumawang ni kita
si dai mawendu, si dai merawoy sumawang
ni kita tou,